Demo di DPR : Suara Ibu yang Khawatir Akan Masa Depan Bangsa

Seorang peserta aksi dengan kain penutup kepala berwarna merah muda membawa bendera merah putih di depan barisan polisi berperisai saat demo di DPR.

Ketika layar televisi menayangkan berita tentang demo di DPR, sebagian orang mungkin melihatnya sebagai dinamika politik biasa. Namun, bagi seorang ibu, pemandangan itu lebih dari sekadar kerumunan massa. Ia melihat wajah anak-anaknya di setiap barisan, merasakan ketakutan di setiap benturan, dan menyimpan doa di setiap langkah yang dipenuhi risiko.

Demo di DPR dan Luka Seorang Ibu

Pada awalnya, demo sering dianggap sebagai bentuk ekspresi demokrasi. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Karena itu, setiap kali mahasiswa turun ke jalan, seorang ibu tidak hanya mendengar tuntutan, tetapi juga mendengar gema hatinya sendiri. Ia tahu bahwa perjuangan anak muda penting, tetapi ia juga sadar bahwa ada nyawa yang bisa terenggut kapan saja.

Ketika nama Affan Kurniawan dan Rheza Sendy muncul dalam daftar korban, banyak orang menyoroti angka dan kronologi. Namun, bagi seorang ibu, itu berarti kehilangan anak yang selama ini dirawat dengan cinta. Bahkan, kehilangan itu tidak hanya menggores hati keluarga, tetapi juga menghadirkan luka kolektif bagi bangsa.

Bangga dan Cemas dalam Satu Waktu

Seorang ibu bisa merasa bangga ketika anaknya berani menyuarakan kebenaran. Namun, kebanggaan itu sering bercampur dengan rasa takut. Karena itu, setiap teriakan di depan gedung DPR, setiap asap gas air mata yang memenuhi jalan, dan setiap berita tentang bentrokan selalu membuat hati ibu bergetar.

Selain itu, ada dilema yang sulit dijawab. Seorang ibu ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang peduli pada bangsa, tetapi ia juga ingin anaknya hidup dalam keadaan aman. Pada akhirnya, ia sering bertanya dalam doa: “Haruskah perjuangan ini dibayar dengan kehilangan?”

Demo di DPR dan Masa Depan Bangsa

Demo tidak hanya tentang hari ini, tetapi juga tentang masa depan bangsa. Karena itu, banyak ibu merasa cemas ketika melihat kekerasan mewarnai aksi. Mereka takut bahwa negeri ini tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk anak-anaknya. Bahkan, kekhawatiran itu semakin besar ketika melihat korban berjatuhan tanpa kepastian perubahan nyata.

Selain itu, seorang ibu paham bahwa keadilan tidak bisa lahir dari kekerasan semata. Ia berharap agar suara mahasiswa yang turun di jalan bisa benar-benar didengar, bukan dibungkam. Meskipun terkadang jalan terasa gelap, ibu-ibu di negeri ini masih menyimpan harapan bahwa perjuangan itu akan membuka jalan menuju bangsa yang lebih adil.

Air Mata Ibu, Duka Bangsa

Ketika seorang ibu kehilangan anak karena demo, duka itu bukan hanya milik keluarganya. Karena itu, setiap air mata yang jatuh adalah pengingat bagi seluruh bangsa. Kehilangan itu menunjukkan bahwa demokrasi seharusnya tidak berakhir dengan korban jiwa. Bahkan, perjuangan anak muda seharusnya membuka ruang dialog, bukan ruang duka.

Nama Affan Kurniawan dan Rheza Sendy kini menjadi simbol. Mereka bukan sekadar mahasiswa yang gugur, melainkan bagian dari generasi muda yang rela mengorbankan segalanya demi negeri. Namun, bagi ibu mereka, kehilangan itu adalah luka yang mungkin tak pernah sembuh. Pada akhirnya, bangsa ini harus bertanya: sampai kapan ibu-ibu harus berduka?

Harapan Seorang Ibu

Meski rasa takut selalu ada, seorang ibu tetap menyimpan harapan. Ia ingin melihat anaknya tumbuh, belajar, dan bekerja untuk negeri dengan cara yang aman. Selain itu, ia ingin bangsa ini menjadi tempat yang layak untuk generasi berikutnya. Karena itu, setiap doa ibu selalu berisi permohonan agar perjuangan tidak lagi berujung pada kehilangan.

Meskipun jalan perjuangan sering penuh risiko, seorang ibu percaya bahwa anak-anaknya adalah cahaya masa depan bangsa. Namun, ia berharap agar cahaya itu tidak padam terlalu cepat. Pada akhirnya, ibu-ibu di negeri ini ingin melihat negeri yang damai, di mana suara rakyat bisa didengar tanpa harus ada nyawa yang melayang.

Demo di DPR dan Suara Nurani

Demo di DPR bukan hanya tentang tuntutan mahasiswa, tetapi juga tentang suara nurani yang bergema lewat air mata ibu. Karena itu, penting bagi bangsa ini untuk mendengar bukan hanya teriakan di jalan, tetapi juga doa-doa di rumah. Doa itu sederhana: agar anak-anak mereka bisa memperjuangkan negeri tanpa harus kembali dalam keadaan tak bernyawa.

Selain itu, suara ibu adalah suara masa depan. Ketika seorang ibu bicara, ia tidak hanya bicara untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Bahkan, ia selalu mengingatkan bahwa bangsa ini bukan hanya tentang kekuasaan, melainkan tentang kehidupan anak-anaknya.

Pada akhirnya, demo di DPR bukan sekadar berita politik, melainkan cermin kegelisahan bangsa. Ia memperlihatkan semangat anak muda sekaligus kecemasan para ibu. Karena itu, kita perlu mengingat bahwa masa depan bangsa tidak bisa dipisahkan dari doa dan air mata ibu.

Seorang ibu ingin anaknya berani, tetapi ia juga ingin anaknya hidup. Ia ingin bangsa ini maju, tetapi ia juga ingin bangsa ini damai. Karena itu, setiap kali demo terjadi, kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar memperjuangkan masa depan, atau justru menambah luka di hati para ibu?

Referensi
https://www.kompas.com/jawa-tengah/read/2025/08/31/205508188/kronologi-meninggalnya-mahasiswa-amikom-yogyakarta-rheza-sendy
https://www.tempo.co/hukum/ibu-affan-kurniawan-minta-polisi-yang-melindas-anaknya-hingga-tewas-dihukum-seberat-beratnya-2065259

Comments |61|